Jumat, 15 Oktober 2010

masa depan jurnalisme

Bagaimana masa depan kebebasan pers di lima tahun mendatang? Ini adalah pertanyaan yang penting untuk diutarakan saat ini mengingat betapa babak belurnya kebebasan pers kita akhir-akhir ini. Serentetan kejadian yang tak menyenangkan telah melanda para ‘pejuang demokrasi’ kita ini. Mulai dari pemukulan jurnalis hingga tuduhan pencemaran nama baik yang berbuntut di pengadilan yang tak berkesudahan hingga sekarang dan lebih tragis lagi penghilangan nyawa, seperti yang terjadi di Bali. Dengan segala kondisi ini, bisakah kita mengharap lebih pada masa depan kebebasan pers kita?
Pada kenyataannya belum ada upaya penyelesaian yang konkrit atas berbagai tantangan yang dihadapi para jurnalis kita selama ini. Bahkan hukum yang ada pun tidak mampu melindungi para jurnalis dari tugasnya yang suci mulia itu.
Ini sungguh ironis, mengingat betapa urgennya peran pers dalam mendukung pelaksanaan demokrasi kita selama ini. Bisa kita bayangkan betapa tak mungkinnya proses demokratisasi ini bisa berjalan efektif tanpa adanya peran pers yang kompetibel dalam merekam berbagai fenomena politik yang ada dan membaginya pada khalayak (kita). Tapi pers tampaknya sejenis ‘makhluk’ yang dibutuhkan sekaligus ditelantarkan oleh sistem kekuasaan dan kemasyarakatan kita. Di saat butuh, kita memujanya, dan di saat dianggap refresif pada kepentingan kita, maka kita mencampakkannya dengan tanpa ampun. Seperti tumor yang harus diamputasi dari tubuh kita.
Lalu bagaimana kita mengharap lebih banyak bagi masa depan kebebasan pers kita di masa yang akan datang? Atau Setidaknya untuk lima tahun ke depan?
Pemerintah yang ada sekarang, dan kemungkinan akan memimpin untuk lima tahun ke depan, belum menunjukkan adanya komitmen untuk hal tersebut. Dengan kondisi ini maka kita tak boleh hanya berpangku tangan. Tugas kitalah sebagai khalayak, yang selama ini diuntungkan oleh para jurnalis ini, untuk terus mendukung mereka agar bisa bekerja lebih efektif dan tanpa tekanan dari siapa pun dan apapun. Tanpa adanya pers yang bebas maka mustahil kita dapat mengharap sebuah tata pemerintahan yang bersih dan transparan. Yang terjadi kemudian adalah absolutisme kekuasaan: kekuasaan yang tak terkontrol dan menindas.
Apalagi jika kemudian ‘pemerintahan yang kuat’ yang diniatkan dibentuk oleh pemerintahan yang akan datang benar-benar terwujudkan. Maka harapan satu-satunya bagi masyarakat atas kontrol kekuasaan hanya ada pada pers. Pers yang benar-benar terbebas dari belenggu kekuasaan dan kekerasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar